Untuk mengetahui batasan-batasan pergaulan Muslim dan non Muslim,
maka panduan kita adalah Al Quran dan As Sunnah, sebagai rujukan
tertinggi umat Islam dan pedoman hidup bagi kaum Muslimin. Bukan
pemikiran untung rugi masing-masing manusia yang subjektif.
Perayaan Keagamaan Adalah Wilayah Aqidah Bukan Muamalah
Persepsi ini harus dibangun dalam pemikiran kaum Muslimin,
bahwa
perayaan keagamaan adalah masalah aqidah, bukan masalah muamalah
(hubungan interaksi sosial), bukan pula budaya. Dalam masalah aqidah
kita memiliki batasan-batasan yang jelas, yakni:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al Kafirun (109): 6)
Tidak sedikit kaum Muslimin yang keliru dalam menempatkan teks-teks agama. Mereka berdalih dengan ungkapan:
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat
bagi seluruh alam). Ungkapan ini benar jika ditempatkan dalam hubungan
sosial, seperti pinjam meminjam, hutang piutang, kerja sama dalam
kebaikan sosial, dan yang semisalnya. Dalam hal ini Islam sangat membuka
diri dan luwes. Bahkan dalam hukum Islam, kaum
kafir dzimmi
mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam dan masyarakatnya.
Mereka sama sekali tidak boleh diganggu, kecuali jika mereka mengumumkan
perang terhadap umat Islam.
Nah, mari kita lihat bagaimana Al Quran dan As Sunnah menyikapi perayaan hari besar keagamaan non Muslim.
Kesetiaan (Wala’) Kaum Muslimin Hanya Kepada Allah, RasulNya, dan Kaum Muslimin
Kita lihat ada sebagian kaum Muslimin yang begitu enggan dengan
undangan sesama Muslim, ajakan saudaranya, dan acara sesama umat Islam,
seperti majelis ta’lim dalam rangka menggali ilmu-ilmu agama. Tetapi
anehnya, mereka bersemangat dengan ajakan dan undangan orang kafir
kepada mereka. Sungguh aneh! Mereka pun merasa bangga dengan
kebersamaannya dengan orang-orang kafir tersebut. Persis seperti yang
Allah Ta’ala sindir dalam Al Quran.
Allah Ta’ala berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari
kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan
kepunyaan Allah.” (QS. An Nisa (4):139)
Ayat lainya:
“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan
orang-orang beriman yang menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan mereka
orang-orang yang ruku’ (tunduk). (QS. Al Maidah (5): 55)
Ayat lainnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pemimpin-pemimpinmu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah (5) : 51)
Apakah makna
wali ?
Wali jamaknya adalah
auliya’ yang berati penolong dan kekasih.
[1] Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, yang mengusai (pemimpin).
[2]
Maka, jelaslah bahwa umat Islam tidak dibenarkan menjadikan orang
kafir sebagai penolong, kekasih, teman dekat, dan pemimpin mereka. Sebab
wali kita hanyalah kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman.
Ikut merayakan dan menghadiri Hari Raya mereka merupakan salah satu
bentuk keakraban dengan mereka dalam hal keagamaan. Ini semua tercela.
Kita terbuai dengan perangkap syetan yang ada dibalik istilah toleransi
yang tidak pada tempatnya. Ditambah lagi, khususnya
Natal,mereka menyebut apa yang mereka lakukan adalah budaya, atau dialog antar budaya, bukan ritual keagamaan. Ini merupakan
talbis (perangkap) dan
syubhat
pemikiran yang menggelayuti pemikiran mereka. Dialog antar budaya bukan
dengan mengikuti acara hari besar non Muslim, yang merupakan simbol
utama sebuah agama. Bukan duduk bersimpuh mendengarkan ayat-ayat mereka.
Bukan ikut berdiri ketika mereka berdiri dan duduk ketika mereka duduk,
dan bernyanyi ketika mereka nyanyi, lalu memakan makanan ritual
keagamaan mereka, bertepuk tangan menyanjung mereka, dan ikut berbahagia
atas perayaan mereka. Itu bukan dialog yang diinginkan Al Quran, walau
bisa jadi itulah dialog yang diinginkan
ala mereka. Itu bukan memperkaya aqidah, tetapi
ittiba’ bil kuffar (mengekor kepada kaum kuffar).
Dialog itu adalah berdiskusi, tanya jawab,
munazharah, debat
yang baik, agar mereka mau menerima Islam; baik menerima menjadi agama
mereka, atau menerima Islam sebagai agama yang eksis dan mereka mau
berdampingan dengan tidak saling menganggu.
Memperkaya aqidah adalah dengan banyak-banyak mengkaji Al Quran
melalui para ahlinya, mempelajari As Sunnah, mempelajari sejarah para
nabi dan orang-orang shalih, hidup bersama orang shalih dan kaum
beriman, dan berbanggalah dengan itu.
Memperkaya aqidah bukan dengan berbasa basi dengan kekafiran dan
penyimpangan mereka, bukan dengan mengikuti perayaan mereka, dan justru
berbangga dengan itu, ini adalah sinkretisme yang dibaluti toleransi
agama yang bukan pada tempatnya.
Lalu, yang terpenting adalah bahwa larangan mengikuti Hari Raya mereka adalah bagian dari
ta’abbudi (peribadatan) yang
manshush ‘alaih (disebutkan dalam
nash), yang sikap kita adalah dengar dan taat.
Turun
atau tidak keimanan Anda, tetap stabil atau labil keadaan iman Anda,
maka larangan tersebut tetaplah berlaku. Larangan tersebut tetap ada
walau pelakunya adalah seorang yang merasa sangat shalih dan mukmin, dan
mampu menjaga keimanannya.
Peringatan Allah Ta’ala Bagi Kaum Muslimin
Jauh-jauh hari, 15 abad yang lalu, Al Quran telah memberikan panduan
bagii umatnya untuk melindungi aqidahnya, yakni untuk tidak mengikuti
mereka, tidak memenuhi ajakan mereka dalam hal aqidah dan keagamaan.
Namun, entah ke mana dan di mana ayat-ayat ini dalam sanubari umat
Islam?
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra’ (17): 36)
“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki
yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran.” (QS. Al Baqarah (2): 109)
Dalam ayat lain:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari
orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan
kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS. An Nisa (4): 100)
Ayat ini dengan jelas memperingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti
perilaku orang kafir, sebab niscaya mereka akan mengembalikan orang
beriman menjadi kafir setelah beriman.
Imam Ibnu Katsir mengatakan:
يحذر تعالى عباده المؤمنين عن سلوك طَرَائق الكفار من أهل الكتاب، ويعلمهم بعداوتهم لهم في الباطن والظاهر
“Allah Ta’ala memberikan peringatan kepada hamba-hambaNya yang
beriman tentang jalan dan perilaku orang-orang kafir dari kalangan ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani), dan memberitahu mereka tentang permusuhan
mereka terhadap kaum beriman, baik yang di hati atau yang ditampakkan.”
[3]
Al Quran Melarang Umat Islam Mengikuti Hari Raya Orang Kafir
Dalam Al Quran, mengikuti Hari Raya mereka diistilahkan dengan
memberikan kesaksian palsu (
Az Zuur). Allah Ta’ala telah menegaskan demikian:
“
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan (25): 72)
Tentang makna ayat ini,
Abu Bakar Al Khalal meriwayatkan dalam
Al Jami’, dari sanadnya sendiri dari Muhammad bin Sirin, tentang makna: “
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu .., katanya: itu adalah menghadiri
Sya’anin.
Sya’anin adalah Hari Raya Nasrani, mereka merayakannya dalam rangka mengenang kembali masuknya Isa Al Masih ke Baitul Maqdis.
Begitu pula yang disebutkan dari Mujahid, katanya: “Mengikuti hari-Hari Raya orang musyrik.”
[4]
Begitu juga yang dikataka oleh Rabi’ bin Anas, katanya: “Mengikuti hari-Hari Raya orang musyrik.
Semakna dengan ini, apa yang diriwayatkan dari Ikrimah, katanya:
“(Tidak melakukan) permainan yang dahulu mereka lakukan ketika
jahiliyah.”
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan: “Ayat ini berbicara tentang larangan menghadiri Hari Raya orang-orang musyrik.”
Adh Dhahak juga mengatakan: “(tidak) mengikuti Hari Raya orang
musyrik.” Sementara Amru bin Murrah mengatakan: “Mereka tidak ikut
bersama kaum musyrikin dan tidak membaur bersama mereka.” Lihat semua
tafsir ini dalam kitab
Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim. [5]
As Sunnah Telah Melarang Umat Islam Menyerupai dan Mengikuti Hari Raya Orang Kafir
Ada dua pembahasan dalam bagian ini.
Pertama, larangan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyerupai orang kafir.
Kedua, larangan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengikuti
hara raya orang kafir. Larangan berpartisipasi dalam perayaan Hari Raya
orang kafir sangat kuat. Jangankan ikut andil, sekadar menyerupai
mereka saja tidak dibenarkan. Ini membuktikan betapa kuat agama ini
dalam melindungi umatnya, dari aqidah, kebiasaan, dan perilaku
orang-orang kafir.
Pertama, Larangan Menyerupai Orang Kafir
Dari Ibnu Umar
Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.”
[6]
Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini, tetapi hadits ini memiliki penguat (
syawahid),
yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat
Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus
secara
mursal.
[7] Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas.
[8] Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya
hasan.
[9] Demikian status hadits ini.
Oleh karena itu tidak dibenarkan menyerupai mereka dalam urusan
agama, terlebih mengikuti perayaan hari besar, yang merupakan hari
utama mereka.
Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk
penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zhahir
mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan
perbuatan lainnya.”
[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahkan mengatakan, dan ini merupakan
perkataan Imam Ahmad bin Hambal juga, bahwa hadits ini merupakan dalil,
paling sedikit kondisi penyerupaan dengan mereka merupakan perbuatan
haram, dan secara zhahirnya bisa membawa pada kekufuran, sebagaimana ayat:
“Barangsiapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, maka dia telah menjadi bagian dari mereka.” [11]
Dalam hadits lain, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami.”
[12]
Sebagaimana kata Imam At tirmidzi, Pada dasarnya hadits ini
dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun, hadits ini memiliki berapa
syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya.
[13] Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki
syawahid yang membuatnya menjadi kuat.
[14]
Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri tentang hadits ini:
لَا تَشَبَّهُوا بِهِمْ جَمِيعًا فِي جَمِيعِ أَفْعَالِهِمْ
“
Janganlah kalian semua menyerupai mereka dalam segala perilaku mereka.”
[15]
Tentu maksudnya adalah segala perilaku yang terkait dengan agama dan
simbol agama mereka, baik acara keagamaan, pakaian keagamaan, dan
lainnya. Namun, untuk perilaku di luar itu, yang terkait dengan
kemaslahatan dunia dan kemakmuran manusia, seperti teknologi, ilmu
pengetahuan, strategi perang, dan semisalnya, maka Islam membolehkan
mengambil manfaat dari mereka.
Ketika perang
Ahzab yang biasa juga disebut perang
Khandaq (parit), strategi yang diterapkan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya adalah strategi menggali
Khandaq (parit) yang merupakan cara orang Persia (Majusi), atas usul sahabat Nabi, Salman Al Farisi
Radhiallahu ‘Anhu. Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
juga pernah menggunakan baju Romawi yang sempit padahal saat itu Romawi
adalah Nasrani, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi.
[16]
Kedua, larangan Mengikuti Perayaan Hari Besar Orang Kafir
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sudah melarang umatnya untuk mengikuti Hari Raya mereka. Dari ‘Aisyah
Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika hari
Id:
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Sesungguhnya setiap kaum memiliki Hari Raya, dan hari ini adalah Hari Raya kita.”
[17]
Maka, Hari Raya umat Islam adalah Hari Raya yang telah ditetapkan
oleh Allah dan RasulNya, saat itulah kaum Muslimin merayakan kebahagiaan
mereka, kesenangan mereka, berhibur dari, makan-makanan yang enak dan
lainnya. Bukan pada Hari Raya agama orang lain, baik Yahudi, Nasrani,
Konghucu, Budha, Hindu, dan agama lainnya.
Secara khusus, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang umat Islam mengikuti Hari Raya mereka.
Dari Anas bin Malik
Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ
سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ
فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ
الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Dahulu orang jahiliyah memiliki dua hari untuk mereka bermain-main pada tiap tahunnya.” Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
datang ke Madinah, dia bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang
kalian bisa bermain-main saat itu. Allah telah menggantikan keduanya
dengan yang lebih baik dari keduanya, yakni hari Fithri dan hari Adha.”
[18]
Al Hafizh Ibnu Hajar, dalam
Fathul Bari mengatakan hadits ini sanadnya
shahih.
[19] Syaikh Al Albani juga menshahihkannya dalam Ash Shahihah.
[20]
Pada masa jahiliyah, kaum musyrikin memiliki dua hari, yakni
Nairuz dan
Mihrajan. Berkata
Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim:
“
Dilarang (bagi umat Islam) mengadakan permainan dan berbahagia
pada dua hari itu yakni Nairuz dan Mihrajan. Hadits ini juga terdapat
larangan yang halus dan perintah untuk beribadah, karena kebahagiaan
hakiki terdapat dalam ibadah.”
Lalu, disebutkan perkataan
Al Muzhhir:
“
Ini merupakan dalil bahwa menghormati Nairuz dan Mihrajan, dan Hari Raya orang-orang muysrik yang lain, adalah terlarang.”
[21]
Al Hafizh Ibnu Hajar
Rahimahullah mengatakan: “Dari hadits ini
disimpulkan bahwa adalah hal yang dibenci berbahagia menyambut Hari
Raya orang musyrik dan menyerupai mereka, dan telah sampai perkataan
Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi dari kalangan Hanafiyah:
‘Barangsiapa
yang memberikan hadiah kepada orang musyrik demi menghormati Hari Raya
mereka, adalah perbuatan kufur kepada Allah Ta’ala.”
[22]
Bahkan, lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melarang
seorang Muslim membantu menjual keperluan orang Islam yang ingin
ikut-ikutan Hari Raya mereka pada Hari Raya orang kafir, baik berupa
makanan, pakaian, dan lainnya, sebab itu merupakan pertolongan atas
kemungkaran.
[24][23]
Peringatan
Hari Raya merupakan simbol utama dari sebuah agama. Bukan hanya
simbol tapi juga waktu kebanggaan bagi masing-masing agama. Maka,
perilaku mengikuti, merayakan, dan memperingati Hari Raya orang kafir
merupakan perilaku melarutkan diri dalam sebuah simbol utama dan hari
kebanggaan mereka. Maka, tidak
syak (ragu) lagi keharamannya,
bahkan sebagian ulama mengatakan kufur seperti yang kami sebutkan di
atas. Apalagi jika seorang Muslim
ikut-ikutan acara ritual yang
ada di pelaksanaan Hari Raya tersebut seperti ikut kebaktian, ikut
melagukan lagu puji-pujian mereka, ikut ke klenteng atau
tepekong
untuk sembahyang, dan semisalnya. Hal ini jika dilakukan karena
kesadaran, tidak dipaksa, dan sudah disampaikan dalil kepada mereka,
tetapi mereka masih membandel ikut-ikutan juga, maka ini kufur menurut
ijma’
ulama. Tetapi, jika dilakukan karena kebodohannya, atau terpaksa dan
dipaksa, dan belum disampaikan dalil kepada mereka, maka belum
dikategorikan kafir.
Ada pun orang Islam yang menjadi penggembira, yang ikut-ikutan
berbahagia menyambutnya walau tidak ikut langsung dengan perayaannya,
maka ini pun terlarang bahkan haram sebagaimana dijelaskan oleh para
ulama di atas.
Berikut ini fatwa Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat Hari Raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل
أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه
فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده
للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل
النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك
ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت
الله وسخطه
“Adapun memberi ucapan selamat (
tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll.
pen) adalah hal yang
diharamkan berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.
Misalnya memberi ucapan selamat pada Hari Raya dan puasa mereka seperti
mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau
dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya. Jika
memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun
itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat Hari Raya
seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas
sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar
dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah
dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum
minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat
lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal
tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka
perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada
seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak
mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”
Sumber: http://www.fimadani.com/hukum-ikut-merayakan-hari-raya-agama-lain/